Seiring dengan perkembangan isu lingkungan global, konsep dan aplikasi CSR semakin berkembang, termasuk di Indonesia. CSR tidak semata menjadi kewajiban sosial perusahaan, namun juga dikaitkan sebagai konsep pengembangan yang berkelanjutan (sustainable development). Sayangnya, dikarenakan belum adanya aturan baku dan pemahaman yang sama tentang pemberdayaan masyarakat, sebagian besar korporasi di Indonesia belum menjalankan prinsip-prinsip CSR yang sesungguhnya.Meneg Lingkungan Hidup (LH) Rachmat Witoelar mengatakan kepedulian industri di Indonesia terhadap fungsi tanggung jawab sosialnya (CSR) parah karena kurang dari 50 persen yang menerapkan program CSR terutama di bidang lingkungan.

Meskipun CSR di Indonesia bukan lagi sebatas wacana, namun yang terjadi sesunguhnya kebanyakan baru sebatas pada fenomena “CSR Peduli”, yaitu aktivitas reaktif dan latah dengan membuka posko peduli atau berduyun-duyun membagikan paket bantuan sembako dan memberi layanan kesehatan di wilayah bencana. Tentu saja dengan kampanye iklan di media massa dengan harapan mendapatkan citra positif perusahaan. Kegiatan Public Relations seperti ini memang tidak menyalahi prinsip solidaritas kemanusiaan tetapi menjadi aktivitas simbolis belaka dalam konteks CSR. Fenomena CSR Peduli ini ibarat orang kaya yang kikir dengan hanya melempar sekeping uang seratus perak pada pengemis yang meratap di gerbang mewah rumahnya.

Fakta lain dari penerapan CSR oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia ternyata sebagian besar masih dilatarbelakangi oleh upaya untuk meredam konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar, seperti misalnya yang terjadi di Papua oleh PT. Freeport. “Motif meredam konflik seperti ini, tentu tidak akan memungkinkan upaya pemberdayaan masyarakat untuk dilakukan secara komprehensif. Banyak kasus menunjukkan bahwa realisasi program pembangunan masyarakat (community Development) yang dilakukan dengan motif seperti ini, dilakukan secara parsial, tidak partisipatif, belum terencana, bersifat elitis dan belum mampu meningkatkan kapasitas masyarakat lokal,”

Beberapa perusahaan memang mampu mengangkat status CSR ke tingkat yang lebih tinggi dengan menjadikannya sebagai bagian dari upaya brand building dan peningkatan corporate image. Namun upaya-upaya CSR tersebut masih jarang yang dijadikan sebagai bagian dari perencanaan strategis perusahaan.

Meskipun demikian, penerapan CSR oleh beberapa perusahaan di Indonesia patut untuk dijadikan contoh bagi perusahaan-perusahaan lainnya. PT. Bogasari, misalnya memiliki program CSR yang terintegrasi dengan strategi perusahaan, melalui pendampingan para pelaku usah mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berbasis terigu. Seperti yang telah kita ketahui, jika mereka adalah konsumen utama dari produk perusahaan ini. Demikian juga dengan PT. Unilever yang memiliki program CSR berupa pendampingan terhadap petani kedelai. Bagi kepentingan petani, adanya program CSR ini berperan dalam meningkatkan kualitas produksi, sekaligus menjamin kelancaran distribusi. Sedangkan bagi Unilever sendiri, hal ini akan menjamin pasokan bahan baku untuk setiap produksi mereka yang berbasis kedelai, seperti kecap Bango, yang telah menjadi salah satu andalan produknya.

Penerapan CSR oleh beberapa perusahaan diatas membuktikan bahwa CSR apabila dilakukan secara sungguh-sungguh, terencana dan terimplementasi dengan baik akan berimbas pada bukan hanya pada citra/image perusahaan dimata masyarakat, akan tetapi lebih daripada itu, juga merupakan simbiosis mutualisme antara perusahaan dengan masyarakat.