csr-chevron_20151102_171108United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR), dalam rangka mempromosikan budaya pengurangan risiko bencana, termasuk pencegahan bencana, mitigasi, dan kesiapsiagaan, pada 2009 menetapkan 13 Oktober sebagai Hari Peringatan Pengurangan Risiko Bencana Internasional (International Day for Disaster Risk Reduction). Pada Oktober ini pemerintah Indonesia menyelenggarakan acara Peringatan Pengurangan Risiko Bencana Tahun 2015 yang diselenggarakan di Kota Solo dan sekitarnya pada 16-18 Oktober 2015.Salah satu special session adalah pertemuan lembaga usaha yang dihadiri perwakilan dunia usaha untuk berbagi pengalaman dan strategi partisipasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dunia usaha merupakan salah satu dari tiga pilar penanggulangan bencana seperti diamanatkan UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Dunia usaha memiliki peran strategis dalam penanggulangan bencana. Peran tersebut bisa diwujudkan sebagai bagian tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR). CSR bisa berperan lebih banyak dalam menghadapi bencana.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan perusahaan dan puncaknya adalah disaster preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana). CSR harus membuat wali amanahnya (stakeholder) bersiap-siap menghadapi suatu bencana, jadi bukan saat terjadi bencana saja (Jalal, 2013).

CSR adalah tanggung jawab perusahaan atas dampak yang ditimbulkan, dampak positif maupun negatif. Bila dampaknya negatif, perusahaan harus mengetahui seluruh potensinya. Kalau bisa hal itu tidak terjadi atau diminimalisasi.

Kalau dampaknya positif hendaknya dimaksimumkan. CSR berperspektif kebencanaan bisa masuk konteks pemenuhan amanat UU No. 24/2007. Dunia usaha berpeluang menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat, bahkan alam.

Kasus bencana asap di Riau, Palembang, dan Kalimantan diduga kuat ada peran perusahaan perkebunan yang secara sengaja membakar lahan untuk perluasan usaha. Ini merupakan dampak negatif yang berakibat buruk di masa mendatang.

Jika tidak diantisipasi bisa menjadi kontraproduktif dengan filosofi CSR yang menempatkan pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan. Tentu selalu ada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan yang harus menjadi perhatian serius.

Dampak negatif langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan bencana bisa muncul dari aktivitas perusahaan seperti kegagalan teknologi, kebakaran permukiman, kebakaran lahan dan hutan, atau banjir yang diakibatkan aktivitas penebangan hutan secara liar yang berpengaruh pada ekosistem, perubahan iklim, hingga cuaca ekstrem.

Dampak negatif tidak langsung atau bahaya turunan dan bencana susulan bisa dilihat dari kasus bocornya reaktor nuklir Fukushima di Jepang setelah diterjang gelombang tsunami. Sebelum reaktor bocor, pembangkit listrik Fukushima mampu memasok 30% kebutuhan listrik di Jepang.

Dampak tsunami teratasi, tetapi bencana susulan kegagalan teknologi (bocornya reaktor nuklir) menjadi ancaman baru yang lebih mengerikan. Di Indonesia, banyak perusahaan seperti pertambangan dan industri perminyakan  yang didirikan di pesisir pantai karena pertimbangan kemudahan transportasi laut.

Perusahaan-perusahaan itu harus mempertimbangkan secara serius dampak negatif pada saat bencana yang tidak bisa diprediksi seperti gempa bumi yang diserta tsunami. Bencana itu pasti menimbulkan bencana susulan akibat rusaknya infrastruktur sampai dengan kegagalan teknologi.

Mengambil peran menanggulangi bencana selayaknya menjadi tanggung jawab perusahaan. CSR bisa diperluas perspektifnya, tidak hanya berkutat di aspek sosial, ke aspek keselamatan lingkungan dan masyarakat yang lebih luas dengan ikut memprakarsai kesiapsiagaan perusahaan dan masyarakat dalam menghadapi bencana.