CISARUA – Jika selama ini Corporate Social Responsibility (CSR) diberikan secara langsung dan tidak berkesinambungan, maka tindakan itu dinilai kurang tepat. Serupa dengan teori butterfly effect, CSR yang diberikan begitu saja memang terlihat sepele tapi justru memberikan dampak besar di masa depan.”Entah bentuknya apa, CSR harus sustainable, dan tidak boleh boleh ad-hoc. Memberikan duit sekali tapi terus ditinggal, itu kurang tepat. Yang perlu diperhatikan adalah, CSR sebagai bisnis sosial di wilayah abu-abu,” tutur Nenny Soemawinata, Managing Director Putera Sampoerna Foundation (PSF), Jumat, (29/11).

Maksudnya, lanjut Nenny, CSR abu-abu itu contohnya seperti beasiswa pendidikan. CSR jenis ini sepintas seperti CSR dengan konsep bisnis sosial karena menyentuh sisi pendidikan. Tapi, jika CSR itu dikucurkan hanya dalam periode tertentu, dan tidak ada penunjangnya maka CSR itu bisa dikatakan CSR bisnis konvensional dengan target profit.

Yang tepat adalah, bagi siswa yang memperoleh beasiswa untuk menempuh pendidikan entah itu di lembaga pendidikan negeri, swasta, atau pun lembaga pendidikan di bawah naungan PSF, maka seharusnya beasiswa yang diberikan itu juga disertai dengan pelatihan soft skill.

Pelatihan yang diberikan juga jangan sampai berhenti di level Sekolah Menegah Atas (SMA) saja misalnya. Tapi, pelatihan tersebut harus benar-benar diberikan secara tuntas sehingga siswa yang bersangkutan memiliki mental pencipta lapangan kerja, bukan pencari kerja ketika masuk ke bursa pekerjaan nanti.

“Coba bayangkan dampaknya jika CSR diberikan secara tidak tuntas, tidak sepenuhnya,” ujar Nenny.

Sebagai contoh, belum lama ini pemerintah memiliki wacana untuk membangun fasilitas perawatan pesawat. Ide ini muncul lantaran selama ini maskapai penerbangan harus menerbangkan pesawatnya jauh hingga ke Hongkong atau bahkan Australia. Hal seperti itu tentunya sangat membebani operasional maskapai penerbangan.

Maka, tercetuslah ide membangun fasilitas tersebut, dan katakanlah ketika pembangunannya selesai nanti maka akan dibutuhkan sekitar 200 teknisi penerbangan. Tapi, siswa-siswa yang sudah lulus menyelesaikan pendidikan tidak dilengkapi dengan soft skill yang memadai.

Jika sudah seperti ini, maka hampir pasti manajemen fasilitas tersebut akan menggunakan jasa tenaga ahli penerbangan dari luar negeri. Lapangan pekerjaan yang seharusnya menjadi hak istimewa penduduk lokal justru hanya bisa dinikmati asing. “Jadi sama saja, kan. Siswa-siswa itu hanya dibentuk sebagai pencari kerja tanpa soft skill,” papar Nenny. *