hands-holding-seedling-849x565DPR melalui Komisi VIII saat ini sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, disingkat TJSP. Dalam perjalanan pembahasannya, polemik terjadi. Berbagai pihak pun menanggapi RUU tersebut, termasuk pihak yang menolaknya, dengan argumen masing-masing.Terdapat setidaknya lima alasan yang kuat untuk menolak RUU Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, disingkat TJSP—yang merupakan terjemahan dari corporate social responsibility atau CSR—yang kini sedang dalam proses legislasi awal di Parlemen.  Kelimanya yaitu sifat yang reduksionistik, potensi moral hazards yang tinggi, sudah banyak regulasi yang mengatur beragam aspek terkait CSR, tambahan beban yang dapat membahayakan daya saing perusahaan yang beroperasi di Indonesia, dan bukan merupakan jalan terbaik dalam mempromosikan CSR.Sebelum menjelaskan kelima argumentasi penentangan tersebut, akan dikemukakan terlebih dahulu apa  yang dimaksud dengan CSR serta bagaimana hubungannya dengan (regulasi) pemerintah, sehingga jelas duduk persoalannya.

Pengertian Tanggung Jawab Sosial

Tanggung jawab sosial didefinisikan sebagai “responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the environment, through transparent and ethical behaviour that contributes to sustainable development, including health and the welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norms of behaviour; and is integrated throughout the organization and practised in its relationships.”

Definisi tersebut merupakan kesepakatan pemangku kepentingan global yang dituangkan dalam ISO 26000:2010 Guidance on Social Responsibility, yang juga telah diadopsi menjadi SNI ISO 26000:2013 oleh Badan Standardisasi Nasional.

Dari bagian awal definisi tersebut, jelas bisa dilihat bahwa tanggung jawab sosial melekat pada seluruh bentuk organisasi, bukan hanya perusahaan.  Dari situ juga bisa dipahami bahwa tanggung jawab sosial berarti tanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan oleh keputusan dan tindakan organisasi atas masyarakat dan lingkungan, dengan tujuan untuk berkontribusi pada pencapaian pembangunan berkelanjutan.

Bagaimana organisasi bertanggung jawab atas dampak itu dijelaskan secara mendetil pada dokumen tersebut, namun bisa diringkaskan sebagai hierarki pengelolaan dampak negatif dan positif. Dampak negatif dari setiap organisasi mengikuti logika sebagai berikut: dikenali, dihindari, diminimisasi, direhabilitasi, lalu dikompensasi.  Organisasi manapun harus mengetahui seluruh potensi dampak negatif yang timbul dari operasinya.  Seluruh dampak tersebut harus sedapat mungkin dihindari agar tidak terwujud.

Kalau kemudian tidak bisa seluruhnya dihindari, maka dampak yang ada itu harus dibuat menjadi sekecil mungkin, dan itupun harus direhabilitasi dengan tujuan tertinggi untuk memastikan tidak adanya dampak negatif residual, yang dikenal dengan sebutan restorasi, yang berarti kembali ke kondisi awal.  Tetapi, kalau ternyata masih tetap tidak bisa kembali ke kondisi semula, maka jalan terakhir yang ditempuh adalah dengan memberikan kompensasi atas dampak negatif residual itu.

Sementara itu, urusan dengan dampak positif jauh lebih serderhana.  Organisasi perlu mengenali seluruh dampak positifnya, dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memaksimalkannya.

Sekali lagi penting ditegaskan bahwa hierarki pengelolaan dampak tersebut sesungguhnya melekat pada seluruh bentuk organisasi, apapun bentuk, ukuran, sektor, usia serta karakteristik lainnya.  Hal lain yang juga penting digarisbawahi adalah bahwa ekspektasi pemangku kepentingan terhadap seluruh organisasi yaitu untuk bersungguh-sungguh mengelola dampak negatifnya terlebih dahulu, baru kemudian dilihat bagaimana organisasi tersebut mengelola dampak positifnya.

Organisasi yang tidak bersungguh-sungguh dalam pengelolaan dampak negatif namun banyak melakukan aktivitas yang menonjolkan dampak positifnya dianggap sekadar melakukan pencitraan belaka, dan hal tersebut bertentangan dengan tujuan tanggung jawab sosial.  Perusahaan yang melakukan pencitraan dengan menonjolkan dampak positifnya tanpa mengelola dampak negatifnya secara optimal disebut sebagai perusahaan yang melakukan CSR-washing, bukan CSR (Coombs dan Holladay, 2012).

CSR dan (Regulasi) Pemerintah

Ketika perusahaan melakukan pengelolaan dampak sesuai dengan hierarki tersebut, maka itulah yang dikenal sebagai CSR.  Pertanyaannya kemudian bagaimana hubungannya dengan regulasi?  ISO 26000:2010 menegaskan bahwa satu dari tujuh prinsip tanggung jawab sosial adalah kepatuhan kepada regulasi. Namun jelas pula dalam dokumen tersebut bahwa seluruh prinsip harus ditegakkan tanpa dapat ditawar.  Artinya, dalam pendirian ISO 26000:2010, kepatuhan pada regulasi adalah necessary condition bagi tanggung jawab sosial, namun bukanlah sufficient condition.

Ada di antara pakar yang dahulu menyatakan bahwa patuh pada regulasi semata adalah bentuk CSR minimal.  Namun sesungguhnya pendirian ini kini dipandang tak bisa dipertahankan.  Pertama, karena seperti yang dijelaskan di atas, seluruh prinsip tanggung jawab sosial sesungguhnya tak bisa ditawar.  Mematuhi seluruh regulasi tidak memadai sebagai CSR.

Kedua, dengan berpegang kepada pendirian bahwa CSR seharusnya terlebih dahulu mengurusi pengelolaan dampak negatif, dapat dinyatakan bahwa antara apa yang sekarang (biasa) diregulasi versus dampak negatif yang seharusnya dikelola oleh perusahaan belumlah sama.  Masih banyak dampak negatif perusahaan yang belum diwajibkan oleh regulasi untuk dikelola hingga tuntas.  Jadi, mematuhi regulasi saja memang belum bisa dikatakan sebagai ber-CSR.

Ambil contoh industri rokok yang hingga sekarang masih legal hampir di seluruh dunia.  Padahal, apabila mengikuti hierarki pengelolaan dampak negatif, industri rokok jelas-jelas tidak bisa dinyatakan bertanggung jawab sosial karena tidak menghindari, meniminisasi, merehabilitasi dan mengkompensasi dampak negatif sebagaimana yang dituntut oleh konsep CSR.  ISO 26000:2010 melarang penggunaan material karsinogenik di dalam produksi, apalagi konsumsi.  WHO (2004) menyatakan bahwa industri rokok dan CSR hubungannya adalah inherent contradiction.

CSR juga kerap dinyatakan sebagai hal-hal yang tidak diwajibkan oleh regulasi, atau dikenal sebagai pendirian beyond regulations (McWilliams dan Siegel, 2011). Tentu, dengan masuknya kepatuhan kepada regulasi sebagai salah satu prinsip tanggung jawab sosial, pendirian ini tidaklah tepat.  Apa yang dilakukan oleh perusahaan dalam mengelola dampaknya, baik yang merupakan kewajiban dalam regulasi, yang menjadi ekspektasi pemangku kepentingan, yang didasarkan pada standar etika tertentu, maupun yang tertuang dalam norma internasional sesungguhnya masuk ke dalam pengertian CSR.

Para pakar dalam bidang hukum perusahaan (mis. McBarnet, 2007; Zerk, 2006) menyatakan bahwa mekanisme di luar regulasi yang dimanfaatkan untuk mendorong CSR sesungguhnya bukanlah pengganti dari regulasi, melainkan sebagai komplemen atasnya.  CSR, karenanya, memang mencakup tanggung jawab yang diwajibkan di dalam regulasi maupun yang tidak.

Ada juga pendirian yang menyatakan bahwa CSR sekadar upaya perusahaan untuk mencegah jangan sampai dibuat regulasi tambahan, atau kerap disebut smokescreen for deregulation (Hanlon, 2008; Shamir, 2005).  “…social responsibility is a subtle and yet an effective response from the capitalist system to the threat of further governmental regulations. …corporate CSR discourse and practice fit neatly with an approach to neo-liberalism that focuses on ‘responsibilization’ and stresses new modes of governance through market-embedded morality.” Demikian sebagaimana yang diamati dan dikritik oleh Gond, Kang, dan Moon (2011).

Tentu saja ada perusahaan-perusahaan yang melakukan hal tidak terpuji tersebut, namun pengertian CSR bukanlah yang demikian. Bahkan, bila perusahaan ber-CSR dengan benar, dengan tidak sekadar mematuhi regulasi, maka regulasi tambahan—sepanjang bukan hal yang bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan—tidak perlu ditakuti.

Gond, Kang, dan Moon (2011) sendiri melihat bahwa secara faktual hubungan antara CSR dengan (regulasi) pemerintah sesungguhnya ada dalam lima spektrum.  Mulai dari yang paling longgar hingga yang paling kuat adalah sebagai berikut: CSR as self-government, CSR as facilitated by government, CSR as partnership with government, CSR as mandated by government, dan CSR as form of government.

Sebagai self-government, perusahaan melakukan CSR sesuai dengan kehendaknya sendiri, tanpa koordinasi, terpisah sepenuhnya dengan inisiatif-inisiatif di sektor publik.  Dalam facilitated by government, pemerintah menyediakan berbagai insentif bagi perusahaan untuk mendorong CSR.  Sebagai bentuk partnership with government, CSR yang dilakukan oleh perusahaan dilaksanakan dengan mengombinasikan pengelolaan dan sumberdaya dengan inisiatif dari pemerintah (juga masyarakat sipil).

Pemerintah juga memiliki banyak regulasi yang mewajibkan perusahaan menjalankan aspek-aspek tertentu dalam CSR, atau yang dikenal sebagai bentuk mandated by government.  Kontrol pemerintah di sini biasanya terhadap kinerja minimal perusahaan dan/atau pengungkapan atas kinerja itu.  Terakhir, ketika terjadi kondisi di mana pemerintah tidak hadir, perusahaan kerap menggantikan peran pemerintah karena terpaksa berbisnis dalam kondisi yang tidak menguntungkan tersebut.  CSR menjadi satu-satunya sumberdaya pembangunan, atau CSR sebagai form of government.

Hubungan tersebut sangat besar kemungkinannya terjadi  secara simultan di setiap negara.  Namun, di negara-negara berkembang, khususnya di tempat terpencil dan miskin, bentuk terakhir sangat banyak ditemukan.  Dan kondisi tersebut tidaklah ideal.  Boleh jadi, kombinasi yang optimal di antara tiga spektrum yang di tengah—yaitu fasilitasi, kemitraan dan regulasi yang tepat—itulah yang dicari.

Pemerintah memfasilitasi perkembangan CSR dengan beragam dukungan, melakukan kemitraan dengan perusahaan dalam berbagai inisiatif pembangunan berkelanjutan, serta meregulasi hal-hal yang memang esensial agar perusahaan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.  Hal yang sangat penting untuk diingat adalah bahwa pemerintah sendiri memiliki tanggung jawab sosial untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, sehingga harus menata dirinya sendiri (dengan paradigma, kebijakan dan regulasi) yang mengarah kepada tujuan tersebut, serta mempraktikannya.

Lima Alasan Penolakan

Dengan latar belakang tersebut, alasan pertama untuk menolak RUU TJSP adalah sifat reduksionistik yang sangat jelas ditunjukkan.  Dalam benak para pengusul regulasi itu, perusahaan adalah satu-satunya bentuk organisasi yang dianggap memiliki tanggung jawab sosial.  Padahal, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil juga memiliki tanggung jawab sosialnya.  Mengapa hanya perusahaan yang diatur?

Kalau melihat wacana yang berkembang hingga sekarang—dilihat dari draft RUU yang beredar di masyarakat dan kutipan omongan para legislator yang bisa dibaca di beragam media massa—yang tampak mengemuka adalah keinginan untuk mengatur sumberdaya finansial perusahaan ‘demi’ pembangunan kesejahteraan masyarakat.  Hal ini juga menunjukkan reduksi atas pengertian CSR yang sesungguhnya.

Alasan kedua adalah potensi moral hazards yang sangat tinggi.  Dengan hanya mengatur perusahaan, dan aturan tersebut cenderung diarahkan pada sumberdaya finansial perusahaan—bandingkan dengan pengaturan yang benar atas CSR, yaitu atas kinerja minimal dan pengungkapannya—maka RUU TJSP sesungguhnya dapat menjerumuskan aparat pemerintah dan perusahaan ke dalam jebakan korupsi.

Sebagaimana yang sudah tampak di berbagai daerah, ketika pemerintah turut menentukan persentase atau besaran dana perusahaan serta pemanfaatannya, maka timbul berbagai kasus korupsi.  Pemerintah yang menggantungkan diri pada sumberdaya finansial perusahaan untuk membangun kemudian memiliki hubungan yang problematik dengan perusahaan, lantaran banyak konflik kepentingan yang timbul.

Perusahaan yang menyumbang banyak kemudian diistimewakan atau merasa harus mendapatkan perlakuan istimewa, seperti dalam perijinan.  Bahkan, ketika pelanggaran hukum terjadi, kecenderungannya adalah pembiaran.  Itulah mengapa bentuk kemitraan, dan bukan pengaturan dana, yang biasanya menjadi karakteristik CSR yang sukses berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.

Alasan ketiga, Indonesia sudah banyak memiliki regulasi terkait dengan CSR. Dalam ISO 26000:2010 dinyatakan bahwa tujuh subjek inti tanggung jawab sosial adalah Tata Kelola, Hak Asasi Manusia, Ketenagakerjaan, Lingkungan, Praktik Operasi yang Adil, Isu-isu Konsumen, serta Pelibatan dan Pengembangan Masyarakat.  Hingga kini, ada banyak sekali regulasi di berbagai tingkat yang mengatur seluruh subjek inti tersebut.

Ada banyak regulasi yang belum ditegakkan dengan benar, bersinggungan atau bahkan bertentangan satu sama lain, serta tidak diketahui oleh aparat pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat sipil. Sebuah kompendium regulasi yang berlaku umum maupun berlaku di sektor tertentu diperlukan untuk mengetahui seluruh kewajiban itu serta upaya yang dibutuhkan untuk memerbaikinya.  Kalau hal ini belum dilaksanakan, tambahan regulasi lagi besar kemungkinan hanya bersifat redundant dan tidak akan efektif dalam mendorong perkembangan CSR yang benar di Indonesia.

Dengan kecenderungan untuk sekadar mengatur sumberdaya finansial perusahaan, atau mengatur tambahan kontribusi perusahaan bagi masyarakat, RUU TJSP dapat menjadi tambahan beban bagi perusahaan di tengah kondisi perekonomian yang sulit.  Perusahaan-perusahaan yang sudah lama beroperasi boleh jadi akan mengalami kesulitan untuk memenuhinya; sementara perusahaan yang baru mau melihat kemungkinan berbisnis di Indonesia akan melihatnya sebagai hambatan tambahan dan mungkin membuat mereka mengurungkan niatnya. Hal ini bisa membawa dampak negatif bagi kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan.

Secara ekonomi, peringkat ease of doing business di Indonesia bisa semakin menurun, demikian pula dengan daya saing perusahaan dan negara Indonesia.  Di tengah upaya pemerintah untuk menaikkan peringkat ease of doing business dan daya saing nasional, RUU TJSP bisa menjadi batu sandungan yang berbahaya.  Kalau beban ekonomi perusahaan ditambah, apalagi dalam kondisi yang sulit, maka kemampuan perusahaan untuk mengelola dampak sosial dan lingkungan yang benar bisa menurun, dan akibatnya kinerja sosial dan lingkunganpun melorot.

Terakhir, tambahan regulasi—yang bersifat reduksionistik, penuh dengan kemungkinan moral hazards, di antara banyak sekali regulasi yang sudah ada, serta berpotensi menjadi tambahan beban belaka—tentu bukanlah jalan terbaik untuk mendorong perusahaan melakukan CSR dengan benar.  Seperti yang telah ditunjukkan oleh Gond, Kang, dan Moon (2011), jalan regulatori terbaik untuk mendorong CSR adalah melalui pengaturan kinerja minimum perusahaan serta pengungkapannya.

Indonesia sudah memiliki regulasi-regulasi itu, yang tersebar di dalam banyak undang-undang, peraturan pemerintah, dan yang ada di bawahnya, baik yang berlaku umum maupun sektoral.

Kalau memang hendak menempuh jalan ini, perlu diketahui dulu pada aspek apa saja pengaturan kinerja minimum perusahaan yang belum ada, serta mana yang masih perlu diperbaiki.  Salah satu yang tampak jelas adalah regulasi tentang pelaporan tahunan perusahaan, yang hingga sekarang masih rendah mutunya (terutama dalam aspek sosial dan lingkungan) dibandingkan kewajiban di banyak negara, hanya diwajibkan untuk perusahaan terbuka saja, dan belum ditegakkan dengan sungguh-sungguh.  Ini adalah salah satu ruang perbaikan yang bisa diambil.

Karena CSR sangat tergantung dari mutu tata kelola perusahaan, tinjauan sangat serius juga perlu diarahkan kepada bagaimana regulasi tata kelola yang ada sekarang, ruang perbaikannya, serta penegakkannya.  Bila memang hendak mendorong CSR yang benar, meningkatkan standar good corporate governance (GCG) dan merevisi UU Perseroan Terbatas adalah pilihan yang jauh lebih cerdas dibandingkan membuat RUU TJSP.