Social entrepreneurship atau kewirausahaan sosial perlu semakin didinamiskan, khususnya implementasinya di bidang pariwisata, dan lebih spesifik lagi di sektor wisata pedesaan. Di satu sisi, model kewirausahaan ini bisa dikatakan lebih membumi dalam konteks masyarakat pedesaan, dan di sisi lain, diperkirakan lebih efektif (tepat sasaran) dalam menerapkan prinsip dasar kepariwisataan berbasis masyarakat (community-based tourism / CBT).Entrepreneur menurut kamus Oxford dimaknai sebagai, “a person who undertakes an enterprise or business, with the chance of profit or loss.”  Sementara itu, entrepreneur sendiri dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu business entrepreneur dan social entrepreneur. Perbedaan pokok keduanya utamanya terletak pada pemanfaatan keuntungan. Bagi business entrepreneur keuntungan yang diperloleh akan dimanfaatkan untuk ekspansi usaha, sedangkan bagi social entrepreneur keuntungan yang didapat (sebagian atau seluruhnya) diinvestasikan kembali untuk pemberdayaan “masyarakat berisiko.”

Namun, menurut Bambang Ismawan, pendiri Yayasan Bina Swadaya, dalam tren global dikotomi semacam itu kian kabur, sebab mereka (business entrepreneur dan social entrepreneur) sesungguhnya berbicara dalam bahasa yang sama, yaitu inovasi, manajemen, efektifitas, mutu dan kompetensi (Fred Hehuwat, 2007).

Di sinilah pentingnya semakin banyak social entrepreneur terjun atau masuk ke ranah praksis kewirausahaan sosial. Di lahan pedesaan, yang diyakini masing-masing desa memiliki keunggulan dan keunikan masing-masing, terhampar ‘peluang’ yang besar, yang penyebarannya meliputi aspek masyarakat (SDM) yang kesulitan ekonomi guna membangun kehidupan dan mengkreasikan suatu unit usaha, maupun produk (resources) dan bahan baku alam yang belum banyak tergarap. Seiring dengan itu, konsep pengembangan desa wisata yang akhir-akhir ini kian gencar digarap oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, menemukan relevansi dan momentum untuk melakukan percepatan kemajuan.

Maria Radyati, Koordinator Program CSR Universitas Trisakti, menyatakan, ada 12 karakteristik social enterprise (SE) di Indonesia. Pertama, tujuan utamanya memberikan benefit untuk orang lain. Kedua, keuntungan bisnis diinvestasikan lagi untuk pengembangan usaha. Ketiga, ada yang mendirikan third sector organization dalam bentuk yayasan, koperasi atau perkumpulan. Keempat, membentuk komunitas sosial. Kelima, memiliki pertautan yang kuat dengan komunitas. Keenam, biasanya berorientasi pasar mancanegara. Ketujuh, dimulai dari menciptakan social benefit (seni, kreativitas, aspek moral, pola pikir, film, dan sebagainya). Kedelapan, memiliki kepemimpinan yang kuat. Kesembilan, jiwa kewirausahaan yang kuat. Kesepuluh, punya kemampuan mengubah pola pikir masyarakat. Kesebelas, ada kontribusi yang bersifat voluntary. Dan keduabelas, ada modal intelektual yang berkembang (SWA, 4-17 Februari 2010, hal. 69).

Berdasarkan karakteristik tersebut, maka SE identik dengan CBT. Nurhidayati (2008) mendefinisikan CBTyaitu: 1) bentuk pariwisata yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untukmengontrol dan terlibat dalam manajemen dan pembangunan pariwisata, 2) masyarakat yangtidak terlibat langsung dalam usaha-usaha pariwisata juga mendapat keuntungan, 3) menuntutpemberdayaan secara politis dan demokratisasi dan distribusi keuntungan kepada komunitasyang kurang beruntung di pedesaan.

Jadi, intinya, CBT merupakan perwujudan pemerluasan dampak sektor pariwisata pada pembangunan perekonomian lokal (local economic development) masyarakat di sekitar kawasan wisata. Upaya yang ditempuh melalui peluang yang diberikan kepada masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan dan kesempatan berwirausaha di sektor pariwisata secara lebih luas.

Maka, isu desa wisata sebagai prioritas program Depbudpar RI semakin tergambar jelas langkah teknis yang dilakukan, sekaligus rancangan strategis yang memayungi atau menjadi tujuan utama dari pengembangan desa wisata. Menteri Pariwisata saat itu, Jero Wacik, pernah mengajak 48 anggota Komisi X DPR-RI periode 2009-2014 ikut mengusulkan dan mengawasi desa mereka yang akan dijadikan sebagai desa wisata dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Destinasi Pariwisata. Secara keseluruhan, Depbudpar mengagendakan pengembangan 104 desa wisata di seluruh Indonesia.

Sebetulnya, mengapa desa wisata begitu memikat pemerintah, dalam hal ini melalui Depbudpar, untuk mengembangkannya? Ada beberapa latar belakang, di antaranya, pertama, indikator terpenting kemajuan sektor pariwisata selain pemasukan negara melalui devisa negara adalah peningkatan taraf kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat khususnya di area tempat wisata. Sebagian besar distribusi obyek dan daya tarik wisata (ODTW) berada di area pedesaan. Karena itu, amat ironis manakala target kunjungan wisatawan asing dan pendapat devisa negara serta pembelanjaan wisatawan domestik masuk dalam hitungan tertentu yang tergolong fantastis, tetapi di sisi lain warga di sekitar tempat wisata tidak ikut merasakan dampak positifnya.

Kedua, seiring dengan perubahan tren wisatawan dunia, bahwa kepariwisataan haruslah menghargai adat-istiadat lokal, melestarikan lingkungan hidup dan memberikan efek yang nyata dan secara langsung dirasakan oleh masyarakat di sekitar tempat wisata, maka keharusan pemerintah memfasilitasi percepatan peningkatan daya saing ODTW di pedesaan. Dalam wujudnya yang khas, pedesaan kita laik jual dalam kacamata pariwisata. Setiap desa memiliki keunggulan yang terwujud melalui keunikan pola hidup, produk unggulan khas daerah, dan terutama mencitrakan populasi kehidupan bangsa Indonesia.

Daya saing desa wisata tidak terlepas dari sejauhmana pemerintah memberikan layanan yang prima dan total, namun efektif dan terukur hasilnya.Survei yang dilakukan majalah SWA terhadap 81 eksekutif level manajer ke atas (SWA, 26 Nov-9 Des 09, hlm. 82) menyimpulkan 12 prioritas saran pemasaran wisata dalam negeri. Di mana, beberapa di antaranya terkait erat dengan fungsi kinerja pelayan publik. Di antaranya, menyiapkan infrastruktur dan sarana penunjang ke arah dan di daerah wisata, meningkatkan peran pemerintah, pemeliharaan obyek dan daya tarik wisata, dan meningkatkan stabilitas politik-ekonomi.

Ketiga, perihal partisipasi aktif masyarakat sebagai ujung tombak sekaligus pelaku pariwisata, maka pengembangan 104 desa wisata ibarat laboratorium raksasa bagi masyarakat untuk melakukan fungsi-fungsi pariwisata sesuai kapasitas yang dimiliki. Kesejatian pengembangan dan kemajuan setiap destinasi wisata tidak melepaskan peran penting masyarakat lokal. Merekalah yang seharusnya disentuh terlebih dahulu untuk memperkuat positioning, daya tawar dan daya saing desa wisata sebagai produk unggulan kepariwisataan di dalam negeri. Di sinilah kewirausahaan sosial menemukan relevansinya.